Selasa, 17 Mei 2011

demokrasi di indonesia berkaitan dengan rule of law

A. Perkembangan Demokrasi rule of law
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebe¬basan dan kemerdekaan umat manusia dari penin¬dasan penjajahan me¬ningkat tajam dan terbuka dengan menggu¬nakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.
Semua peristiwa yang mendorong mun¬culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde¬kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter¬bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya¬tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja¬jahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh peme¬rintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demo¬krasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperan¬kan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemung¬kinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi peme¬rintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlin¬dungan hak asasi manusia.
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita ha¬dapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks rela-tionalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubah¬an berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-ke¬kuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan tekno¬logi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-pro¬sedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus di¬kaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidup¬an kemasya¬rakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru¬pakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsu¬mennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eks¬ploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendo¬minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyang-kut kepen¬tingan-kepentingan politik maupun kepen¬tingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otori¬tarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen-duduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3. Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana¬jemen produsen dengan konsumen di setiap ling-kungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelom¬pok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama.
Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorong¬nya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika yang dengan isitlah Karl Marx dikategorikan sebagai perjuangan kelas yang menuntut keadilan.
B. Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Dalam alam demokrasi, terbukanya kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat merupakan merupakan prinsip yang tak dapat terelakan. Bahkan, bagi negara yang meganut paham demokrasi keduanya menjadi prasyarat mutlak yang telah diatur perlindungannya. Nilai-nilai universal tersebut dimuat dalam International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) yang kemudian telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Sementara itu, secara eksplisit jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat dimuat dalam Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, ”(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan ”(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kemudian Pasal 28F UUD 1945 juga menyinggung tentang jaminan perlindungan konstitusional terhadap kebebasan tersebut dengan menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sementara itu, beberapa ketentuan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat secara lisan dan tulisan, khususnya dalam Pasal 14, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi warga negara Indonesia semakin ditegaskan dengan dimuatnya beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (2), serta Pasal 25.
Berdasarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka secara tegas dan terang benderang dapat dikatakan bahwa negara Indonesia telah memberikan jaminan penuh atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat bagi warga negaranya. Namun demikian, sebagaimana pengaturan dalam instrumen HAM internasional, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah salah satu hak yang dapat dibatasi pemenuhannya (derogable rights) dalam kerangka prinsip-prinsip negara hukum dengan pengaturan di dalam undang-undang.
Ketentuan mengenai pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dengan demikian, 4 (empat) persyaratan diperbolehkannya pengaturan pembatasan secara konstitusional terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, yaitu: (1) Dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; (2) Dilakukan untuk memenuhi tuntuan yang adil; (3) Pembatasan dilakukan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum; dan (4) Pembatasan dilakukan untuk membentuk suatu masyarakat yang demokratis.
Walaupun telah diatur mengenai adanya pembatasan dalam hak menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi, namun ternyata masih timbul permasalahan berkaitan dengan tata cara dan implementasi pelaksanaan kedua hal tersebut. Dalam kesempatan wujud kebebasan berpendapat dan berekspresi, berbagai kalangan sempat menyayangkan adanya tindakan yang dianggap kebablasan dalam penerapannya, khususnya ketika kebebasan tersebut ditujukan untuk mengkritisi pemerintahan, sebab adakalanya sulit dibedakan antara tindakan sebagai berntuk kritisasi yang membangun dengan penghinaan yang dinilai justru menjatuhkan derajat dan wibawa penyelenggara negara.
Dalam konteks ketatanegaraan, penyelenggara negara seringkali dikaitkan dengan simbol-simbol dan pejabat negara yang harus dilindungi kehormatan dan kewibawaannya, sehingga jalannya pemerintahan tidak terganggu dalam upaya mencapai tujuannya. Namun demikian, sebelum membahas lebih jauh ada baiknya mencermati terlebih dahulu pengaturan tentang simbol dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini.

C. Simbol Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009
Pada tanggal 9 Juli 2009 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Keempat hal tersebut diatur karena merupakan sarana pemersatu identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan serta kehormatan negara. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan demikian, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.
Seluruh bentuk dan simbol kedaulatan negara dan identitas nasional diatur dan dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36C. Selain bertujuan untuk menciptakan jaminan kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standardisasi, dan ketertiban di dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, UU a quo juga mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaannya, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagisiapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini.
Dengan demikian, secara sekilas dapat ditemukan bahwa simbol kedaulatan yang dimaksud menurut undang-undang a quo hanyalah Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan kepala negara, menteri, anggota perwakilan dan jabatan negara lainnya tidak menjadi ruang lingkup yang diatur dalam undang-undang ini sebagai simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Berangkat dari hal tersebut, maka ada baiknya dibedakan peristilahan mengenai simbol-simbol negara berdasarkan undang-undang dengan praktik ketatanegaraan yang dikenal secara umum.
Dalam teori ketatanegaraan lama, kita memang mengenal Presiden, Raja, atau Ratu sebagai head of state yang biasa dinisbatkan dengan fungsinya sebagai lambang persatuan dan kekuasaan (symbol of unity and sovereign power) dan pusat seremoni kenegaraan (center of ceremony). Namun demikian hal tersebut kian hari semakin pudar maknanya karena berkembangnya doktrin negara hukum modern yang mengutamakan pentingnya sistem aturan daripada faktor orang per orang. Hal itu tercermin dalam jargon “the rule of law, and not of man” dalam sistem demokrasi modern. Apabila jabatan-jabatan tersebut kemudian hari ingin kembali dimasukkan ke dalam pengertian simbol negara, maka perlu dirumuskan ulang penggunaan peristilahan tersebut di dalam peraturan perundang-undangan. Lagi pula, pengertian lama tentang “symbol of unity”, “center of ceremony”, dan sebagainya itu – dalam sejarah – sebenarnya berasal dari praktik negara-negara monarki parlementer di Eropah Barat yang menempatkan Raja atau Ratu sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidentil seperti di Indonesia dan di Amerika Serikat, pemisahan pengertian Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seperti demikian tidaklah relevan. Presiden adalah Presiden yang dalam jabatannya tercakup kedua pengertian itu sekaligus. Bahkan keduanya tidak dapat dan tidak perlu dibedakan satu sama lain. Dalam praktik sampai sekarang masih ada kebiasaan untuk membedakan antara kualitas Presiden sebagai Kepala Negara dan kualitasnya sebagai Kepala Pemerintahan. Misalnya, sampai sekarang, masih banyak orang yang menganggap Sekretaris Negara sebagai sekretaris Presiden sebagai Kepala Negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah Sekretaris Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pengertian demikian inilah sering menimbulkan permasalahan sebagai akibat adanya dualisme kepemimpinan antara Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Dalam Penjelasan UUD 1945 memang terdapat istilah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai dua macam jabatan yang dibedakan. Namun, harus diingat bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dibuat dan baru diumumkan pada bulan Februari 1946, ketika sistem pemerintahan Indonesia sudah berkembang dalam praktik sistem parlementer, yang dimulai sejak diangkatnya Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama, yaitu pada bulan November 1945. Karena itu, penyebutan kedua jenis jabatan itu secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945 yang pernah diberlakukan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, harus dipahami dalam konteks kesejarahan yang tepat dan tidak dapat digeneralisasikan secara umum dan untuk semua zaman. Dalam sistem presidentil yang kita bangun dan kemudian diperkuat sejak reformasi, tidak dikenal lagi adanya pembedaan, dan apalagi pemisahan antara kualitas Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan itu. Di pihak lain, kedudukan khusus Kepala Negara sebagaimana diterapkan dalam sistem monarki parlementer di Eropah Barat dalam sejarah di masa lalu yang memberikan kepada Kepala Negara kedudukan khusus sebagai simbol persatuan dan pusat seremoni kenegaraan, juga sudah tidak relevan lagi untuk dikembangkan dewasa ini. Apalagi jika pengertian demikian hendak diterapkan di Indonesia dewasa ini, tentu dapat dikatakan sangat tidak tepat. Sesudah reformasi, kita justru memperkuat sistem pemerintahan presidentil dalam kerangka sistem negara hukum (rechtsstaat, the rule of law) dan negara demokrasi modern. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak terjebak ke dalam sikap-sikap pribadi yang terbawa arus budaya politik lama yang cenderung mempersonalisasikan jabatan Presiden sebagai Kepala Negara dalam pengertian yang diuraikan di atas.
D. Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait dengan upaya perlindungan atas pejabat negara, hal mana dilakukan dengan cara dibentuknya ketentuan pidana atas penghinaan terhadap kepala negara dan ketentuan penebar kebencian kepada pemerintah, perlu kiranya kita menyimak kembali Putusan Mahkamah Konstitusi yang pernah dijatuhkannya beberapa waktu silam.
Dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bertanggal 6 Desember 2006, MK membatalkan Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP. MK menilai bahwa pasca perubahan ketiga UUD 1945, konsep kedaulatan (sovereignty) telah berpindah dari parlemen kepada rakyat. Dengan demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, haruslah bertanggung jawab kepada rakyat. Lebih lanjut dipertimbangkan bahwa walaupun martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun keduanya tidak dapat diberikan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak yang menyebabkan Presidan dan/atau Wakil Presiden memperoleh kedudukan dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Hal ini menurut MK secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan tersebut menurut MK juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini dinilai secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap ketika ketiga pasal pidana tersebut selalu digunakan oleh aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal demikian secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 terkait dengan proses pemakzulan (impeachment).
Putusan ini memang dibahas cukup mendalam dan hati-hati, terbukti dengan adanya 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinions), yaitu I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan H. Achmad Roestandi. Menurut I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono, ketentuan yang diuji bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Sedangkan menurut H.A.S. Natabaya dan Achmad Roestandi ketentuan tersebut perlu ada perubahan baik dalam sifat deliknya maupun dalam ancaman hukumannya serta penempatan tempat pengaturan yang merupakan legal policy dari pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah).
Sementara itu, pada tanggal 17 Juli 2007 MK mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait dengan ketentuan pidana apabila seseorang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan Pemerintahan, karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) serta Ayat (3) UUD 1945.
Setidaknya terdapat empat pertimbangan hukum utama yang melatarbelakangi dijatuhkannya putusan tersebut. Pertama, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa karena kualifikasi delik atau tindak pidananya adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Kedua, Pasal 154 dan 155 KUHP juga dapat dikatakan tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali dalam hal makar. Akan tetapi, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di dalam KUHP.
Ketiga, sejak tahun 1946 pembentuk undang-undang sesungguhnya telah menyadari bahwa ada ketentuan dalam KUHP yang tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Ketentuan Pasal 154 dan 155 KUHP menurut sejarahnya memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga telah nyata pula bahwa kedua ketentuan tersebut oleh MK dinilai bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, sebagaimana dimaksud Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Keempat, konsep rancangan KUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana yang serupa, formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formil melainkan diubah menjadi delik materiil. Hal itu menunjukkan telah terjadinya perubahan sekaligus pembaharuan politik hukum pidana ke arah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945. Dengan demikian, tindakan penghinaan jelas terlarang dan tidak boleh dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun juga. Akan tetapi, efek penghinaan itu sendiri dianggap tergantung kepada pribadi orang yang dihina, yaitu merasa terhina atau tidak. Jika yang bersangkutan merasa dihina dan terhina, maka kepadanya diberikan hak untuk mengadukan halnya kepada pihak yang berwajib sebagaimana mestinya. Suatu jabatan tidak mungkin merasa terhina. Yang dapat merasa terhina adalah manusianya. Apapun kedudukan seseorang, tidak boleh dihina. Jika dihina, maka orang yang merasa terhina berhak mengadukan penghinanya kepada polisi sebagai delik aduan (klachtdelict).

E. Melindungi dengan Aksi dan Bukan Sanksi
Kebebasan di dalam demokrasi dapat pula menjadi sarana dalam membangun nilai-nilai peradaban dari suatu negara. Akan tetapi hal tersebut hanyalah dapat tercapai sepanjang kebebasan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang damai, tanpa kekerasan dan tanpa pemaksaan. Kebebasan pers, berekspresi, berorganisasi, dan beragama hanya dapat berjalan seimbang tanpa diciderai tindakan kekerasan dari pihak manapun, kecuali dilakukan menurut hukum oleh aparatur negara. Begitu pula dengan kebebasan berorganisasi dan berkumpul yang tidak dapat dihukum atau dibubarkan apabila tidak bertentangan dengan ideologi negara.
Di tengah-tengah penguatan prinsip demokrasi tersebut agar tidak keluar dari arah dan tidak menimbulkan anarki, maka perlu pula diwancanakan dibentuknya Undang-Undang Anti-Pemaksaan dan Anti-Kekerasan yang mewadahi adanya hak dan perlindungan penuh terhadap kebebasan warga negara sepanjang tidak dilakukan melalui bentuk dan cara-cara kekerasaan ataupun pemaksaan kehendak terhadap pihak lain. Di dalam undang-undang tersebut dapat pula dimuat mengenai sanksi dengan sistem restorative justice, yaitu memulihkan kondisi dalam keadaan semula, misalnya dengan sanksi denda yang sebelumnya harus dapat dibuktikan terlebih dahulu secara materiil.
Dengan demikian, tidak diperkenakan bagi warga negara untuk melakukan pemaksaan kehendak atau kekerasaan, termasuk mengambil alih atau mengambil oper fungsi negara. Misalnya, bertindak seakan-akan sebagai aparatur kepolisian atau menggunakan atribut dan pakaian yang menyerupai tentara untuk bertindak sewenang-wenang.
Selain pembentukan undang-undang, harus pula dikembangkan sikap dan budaya saling menghargai dan menghormati tanpa adanya paksaan. Dalam sejarah ketatanegaraan di Eropa, perasaan tentang simbol-simbol negara semakin berkembang. Masyarakat di negara-negara dunia semakin rasional melihat kedudukan dan jabatan seseorang dalam pemerintahan negara. Penghinaan memang secara umum tidak diperbolehkan, akan tetapi rasa kepedulian tersebut kian hari kian luntur. Banyak orang yang tidak peduli dengan kedudukannya sepanjang tindakan dan kebijakan yang dikeluarkannya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Begitu pula dengan adanya tindakan penghinaan, misalnya, kepada Presiden. Masyarakat harus memahaminya bahwa tindakan tersebut tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, hal yang dilarang atau tidak diperbolehkan dilakukan terhadap orang lain berarti tidak boleh pula dilakukan terhadap seorang Presiden. Namun demikian, hal tersebut disamakan bukan karena jabatannya, tetapi karena pribadinya sehingga harus dapat dibedakan antara perseorangan yang memangku jabatan dengan institusi jabatan. Sebagai contoh, dalam dunia peradilan kita mengenai contempt of court yang dibentuk untuk menjaga kehormatan terhadap proses persidangan, dan bukan terhadap para Hakim dalam persidangan itu. Apabila ada yang melanggar ketentuan tersebut maka sanksinya yaitu dikeluarkan dari ruang persidangan.
Demikian pula halnya dengan contempt of parliament, anggota dewan atau siapa saja dapat dikeluarkan dari ruang sidang dengan paksa apabila menggangu jalannya proses persidangan apabila dinilai menjatuhkan kehormatan lembaga parlemen. Namun demikian, pengertian “contempt” itu sendiri tidak dapat diidentikkan dengan pengertian penghinaan terhadap orang atau pun “defamation” (pencemaran nama baik). Kosa kata bahasa kita memang belum cukup lengkap untuk menerjemahkan kata “contempt” itu, sehingga dalam pengertian sehari-hari diidentikkan saja dengan penghinaan.
Misalnya, dapat dipersoalkan bahwa dalam “contempt of court”, yang tidak boleh “dihina” adalah institusinya. Karena itu, institusi kepresidenan juga tidak boleh “dihina”. Mengapa “penghinaan” terhadap pengadilan dapat diterima sebagai delik formil, sedangkan “penghinaan” terhadap lembaga kepresidenan hanya dapat diterima sebagai delik materiel? Pertanyaan tersebut timbul tidak lain karena orang mengidentikkan pengertian “contempt” itu dengan “penghinaan”. Padahal, keduanya jelas berbeda. Karena itu, dalam sistem hukum modern, kita mengenal doktrin “contempt of court” dan “contempt of parliament”, tetapi tidak pernah ada wacana mengenai “contempt of president” dan apalagi “contempt of government institutions. Suatu institusi, seperti Kementerian Negara dapat saja dikritik dan dicaci-maki orang karena alasan tidak berjalan baiknya program pemerintahan. Akan tetapi tindakan demikian tidak pernah disebut sebagai “contempt of government”.
Pemerintah memang harus terbuka untuk dikritik oleh setiap warga negara yang berdaulat, terlepas mengenai cara dan substansi kritiknya. Makin tinggi tingkat peradaban suatu masyarakat yang menjalankan sistem demokrasi yang bebas itu, tentu makin tinggi pula kualitas, sehingga cacian dan gunjingan yang bersifat pribadi tidak akan nampak ke permukaan. Demikian pula bakar membakar dan tindakan merusak serta brutal yang biasa dilakukan oleh para demonstran, sepenuhnya merupakan soal tingkat peradaban. Namun, bagaimanapun juga segala jenis tindak pelanggaran hukum tersebut, seperti melempari rumah orang dengan batu pada saat berdemonstrasi, memang harus ditindak tegas. Demikian juga apabila para demonstran mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghina dan merendahkan martabat pribadi seseorang yang sedang menduduki jabatan tertentu, tindakan penghinaannya itu harus ditindak menurut hukum yang berlaku. Tetapi hukum yang berlaku itu bersifat sama untuk semua orang, yaitu apabila dihina dapat mengadu kepada yang berwajib karena tindakan penghinaan itu merupakan delik materiel.
Dengan ketentuan penghinaan yang berlaku sama untuk semua orang demikian, kita dapat memisahkan antara urusan institusi dengan urusan pribadi. Jika kita terhina secara pribadi, maka hukum yang terkait harus ditegakkan untuk pribadi. Jika institusi yang dipersoalkan maka pastilah institusi tidak mempunyai perasaan sehingga tidak mungkin merasa terhina yang membuatnya harus mengadu ke polisi. Pembedaan antara urusan pribadi dan institusi ini justru sangat penting, dan di antara keduanya jangan sampai timbul adanya “conflict of interest”
Tesis Lord Acton justru membuktikan bahwa sumber korupsi dan kejahatan muncul karena adanya conflict of interest di antara pemegang kekuasaan negara, sehingga hal-hal yang memunculkan potensi tersebut harus pula dapat dijaga dan dieliminir sedemikian rupa. Oleh karenanya, untuk melindungi kehormatan pemerintahan sebaiknya tidak dilakukan dengan cara penerapan sanksi pidana melalui instrumen negara terhadap pihak-pihak yang berusaha untuk melakukan kritisasi, namun harus dengan cara peningkatan aksi pemerintahan dalam upaya pencapaian kinerja yang optimal.
Selanjutnya, pengembangan budaya kerja dan bermasyarakat di antara kalangan pejabat negara harus diciptakan sehingga perasaan yang timbul karena kritisasi atau penghinaan yang dilontarkan oleh pihak lain kepada diri pribadi tidak menjadi beban pekerjaan yang timbul akibat secara psikologis terikat dengan kultur. Apabila kultur masyarakat dan penyelenggara negara diubah dari kewibawaan pribadi dengan paradigma berbasis hasil kinerja, maka segala tindakan dan perbuatan dalam pelaksaan tugas akan dapat berjalan dengan lebih ringan dan tanpa beban yang begitu berat.
Hal terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah budaya organisasi yang harus dibangun dengan memperkuat sistem kerja dan bukan orang-perorangan. Dalam konteks hukum, misalnya, apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe¬nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama, sehingga dikenal istilah “The Rule of Law, and not of Man” untuk menggam¬barkan pe¬ngertian bah¬wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam¬barkan hanya sekedar bersifat instru¬mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang berpuncak pada konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar