Senin, 11 April 2011

tanggung jawab negara terhadap kita sebagai warga negara

tanggung jawab negara dalam mejaga kita sebagai warga negara adalah:
1. Negara beserta seluruh komponennya dan organ-organ yang dimilikinya memiliki tanggung jawab untuk menghormati, menegakkan, dan memajukan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Negara tidak diperkenankan mencampuri atau menghalang-halangi segala upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hak mereka tersebut. Intervensi hanya diperbolehkan dalam rangkan mendorong masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
2. Negara berkewajiban untuk mengeluarkan segala peraturan perundangan dan instrument hukum lainnya yang menjamin terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya, bagi seluruh warganegara, tidak hanya menguntungkan pihak-pihak atau kelompok tertentu.
3. Negara harus berperan aktif dalam mengupayakan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, bagi seluruh warganegaranya, serta tidak mengurangi hak-hak warganegara tertentu. Harus dipastikan bahwa setiap warganegara memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budayanya.
Namun, berbagai kebijakan pemerintah saat ini menampakkan sejumlah paradoks, alih-alih menunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sejumlah kebijakan justru menjauhkan dari upaya tersebut. Dalam upaya pengentasan kemiskinan misalnya, pemerintah justru menurunkan indikator garis kemiskinan, dari yang semula US$ 1/orang/hari, menjadi US$ 0,75/orang/hari (sementara di Filipina US$ 1,5 dan Bank Dunia US$ 2). Dengan indikator tersebut, jumlah penduduk miskin hanya tinggal 31 juta jiwa, padahal jika menggunakan indikator US$ 2/orang/hari, jumlahnya bisa lebih dari 120 juta jiwa.
Kendati sejumlah kebijakan seolah menempatkan adanya jaminan hak ekonomi, sosial dan budaya, dalam pelaksanaannya tetap tidak cukup merubah kondisi. Lihat misalnya dalam sektor pendidikan, dengan anggaran yang paling besar, namun alokasinya lebih banyak untuk belanja pegawai. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah, dimana meski sektor pendidikan menjadi prioritas, alokasi anggaran lebih banyak untuk belanja pegawai. Misalnya kabupaten Musi Banyuasin, di Sumatera Selatan, yang anggaran pendidikannya mencapai 27, 84 % dari total APBD, 77,37% dari total anggaran pendidikan justru digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan alokasi belanja publik hanya tersisa 22, 63%. Situasi lebih parah terjadi di Kabupaten Mimika, Papua, dari total APBD yang mencapai 1,4 triliun rupiah, alokasi anggaran pendidikannya hanya 15,52%. Dari alokasi tersebut yang digunakan untuk belanja publik pun hanya 22,15%, sementara 77,85% digunakan untuk belanja pegawai.
Dalam tataran kebijakan, masih banyak peraturan yang justru menghambat pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan produksi kebijakan yang semakin membatasi akses untuk mencapai hak-hak tersebut. Lihat misalnya UU Permukiman dan Perumahan yang baru saja disahkan oleh DPR. Undang-undang ini jauh dari suatu regulasi yang mengkomodasi atau memberikan kemudahan akses perumahan bagi rakyat miskin. Demikian pula berbagai peraturan daerah yang menutup rapat akses masyarakat untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya, misalnya Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau No. 4 Tahun 2003 tentang Skema Perkebunan Kelapa Sawit, yang menjadi legitimasi bagi perusahaan perkebunan untuk melakukan perampasan tanah-tanah masyarakat.
Berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat miskin tersebut, kemudian diperparah dengan sikap aparat negara dan institusi judisial dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sikap aparat negara yang seolah melaksanakan hukum, justru menempatkan tuntutan atas pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya berhadap-hadapan dengan hukum negara, yang telihat dalam sejumlah kasus penggusuran di perkotaan. Sementara institusi yudisial belum mampu menjadi instrumen yang efektif untuk menyediakan ruang bagi masyarakat dalam mempertahankan atau menuntut hak-haknya.
Berdasarkan sejumlah kondisi tersebut, the Institute for Ecosoc Rights, Demos, ELSAM, meminta kepada negara, khususnya pemerintah berkuasa, untuk:
1. Meninggalkan politik pencitraan dalam pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, yang selama justru mematikan keberadaan orang miskin yang rentan dan papa. Pemerintah harus secara jujur dan transparan menyampaikan capaian-capaian pembangunan berdasar pada indikator universal.
2. Melakukan review atas seluruh kebijakan, baik peraturan maupun program, yang selama ini menjadi tembok penghalang bagi upaya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.
3. Prioritas anggaran yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan publik, dan upaya pemberdayaan masyarakat pada umumnya.
4. Dibukanya saluran-saluran negara, khususnya lembaga judisial, bagi upaya pemulihan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
NEGARA HARUS BERTANGGUNG JAWAB UNTUK MENJAMIN KEBEBASAN BERIBADAH, BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN PADA WARGA NEGARA


Indonesia merupakan negara majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, agama maupun aliran kepercayaan yang merasa senasib untuk membentuk suatu negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemajemukan dalam wujud Berbhineka Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara sebagai alat persatuan bangsa, sebagaimana yang dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri bangsa kita. Dengan kemajemukan ini, tentunya negara berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk melindungi dan menghormati setiap unsur-unsur pembentuk kemajemukan, termasuk didalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental.
Tetapi kenyataan menunjukkan hal lain karena negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya.Hal ini dapat dilihat dari eskalasi penutupan, penyegelan dan penyerangan terhadap rumah ibadah yang dilakukan oleh negara dan non-negara, yang disebut dengan kelompok-kelompok vigilante (kelompok yang melakukan kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum). Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 Juli 2010 menyatakan bahwa sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk, tahun 2010 antara Januari – Juli terdapat 28 kasus yang sama. Berdasarkan catatan Persekutuan Gereja- Gereja di Indonesia (PGI), ada 16 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristiani tahun 2010.

Selain itu, rumah ibadah dan bangunan-bangunan pemeluk agama/keyakinan lainnya mengalami hal yang sama misalnya, pembongkaran rumah ibadah Ahmadiyah di Bogor, pembatasan ibadah jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya hingga pada Surat Perintah Bupati Kuningan, H. AANG HAMID SUGANDA untuk menyegel rumah ibadah Ahmadiyah pada bulan Juli 2010 di Manis Lor, Kuningan, Jawa Bara dan kasus penutupan/penyegelan rumah ibadah pemeluk agama lainnya.
Kasus terakhir menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kelurahan Mustika Jaya, Bekasi Timur. Gereja ini telah berdiri selama kurang lebih 20 tahun, dan dalam kurun waktu yang sama berupaya mendirikan gedung Peribadatan / Gereja. Tetapi kenyataanya, negara melakukan ketidakadilan terhadap gereja tersebut karena rumah ibadahnya disegel Walikota Bekasi, MOCHTAR MOHAMMAD pada tanggal 01 Maret 2010 dan tanggal 20 Juni 2010, dengan alasan hanya karena adanya penolakan dari sekelompok masyarakat. Kejadian menyedihkan kembali dialami jemaat gereja tersebut dalam beberapa Minggu terakhir (11 Juli 2010, 18 Juli 2010, 25 Juli 2010, 01 Agustus 2010, 08 Agustus 2010), sekelompok massa (vigilante) berusaha menghalang-halangi bahkan melakukan penyerbuan dan kekerasan terhadap jemaat yang sedang melakukan ibadah di tanah milik gereja itu sendiri, yang terletak di Kampung Ciketing, RT 03/RW 06, Pondok Indah Timur, Bekasi Timur, Jawa Barat. Akibatnya, puluhan jemaat yang sebagian besar dari kaum perempuan menderita luka-luka, ironisnya tangisan dan jeritan warga jemaat menjadi tontonan aparat kepolisian yang datang dengan jumlah besar, yang semestinya memberikan pengamanan dan cenderung membiarkan aksi kekerasan berlangsung.

Problematika kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagaimana diuraikan di atas merupakan puncak gunung es, artinya bahwa kasus-kasus di atas hanya sebagian dari berbagai permasalahan yang ada. Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara telah mengingkari nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui dan menghargai keberagaman (pluralisme) sebagaimana dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri negara. Dalam ini juga negara gagal mengikat keseluruhan keberagaman (perbedaan-perbedaan) menjadi suatu persatuan.
Berbicara mengenai hak asasi manusia, dalam hal ini Negara, utamanya Pemerintah telah mengingkari Konstitusi dan peraturan hukum lainnya yang mengakui eksistensi hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 18 UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik jo pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Secara khusus perlu ditegaskan bahwa hak beribadah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama di tempat tertutup atau terbuka merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi dan peraturan hukum lainnya sebagaimana disebutkan di atas.

Di sisi lain, perlu juga ditegaskan bahwa penutupan/penyegelan rumah ibadah selain melanggar hak konstitusional warga negara, dari segi kebijakan publik menunjukkan adanya kekeliruan dan kesalahan mendasar karena hal tersebut merupakan bentuk intervensi negara terhadap hak privasi warga negara. Semestinya negara lebih fokus mengurus persoalan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, petani dan pertanian, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya.

Refleksi Hari Kemerdekaan 17 Agustus
Hari Kemerdekaan 17 Agustus, yang akan kita rayakan beberapa hari lagi menjadi momentum tepat untuk merefleksikan eksistensi kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Momentum ini juga sangat tepat untuk melihat berbagai permasalahan kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi pemeluk agama tertentu, sekaligus mempertanyakan eksistensi 65 tahun kemerdekaan, benarkah kita sudah merdeka? Hari Kemerdekaan 17 Agustus ini merupakan momentum tepat untuk menemukan kembali kemerdekaan yang hakiki bagi setiap warga negara, khususnya hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya juga menjadi pembelajaran bagi negara untuk dapat memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara dalam melaksanakan ibadahnya, agamanya dan keyakinannya. Tanggung jawab ini dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum dan kebijakan yang menciptakan rasa aman bagi warga negara dalam melaksanakan ibadah, agama dan keyakinannya. Ini merupakan amanat hukum dan HAM, yaitu bahwa negara mempunyai kewajiban pokok terhadap Hak Asasi warga negara yaitu: melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hak asasi warga negara, dimana hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan turut di dalalamnya.

Didasarkan pada uraian diatas, kami FORUM SOLIDARITAS KEBEBASAN BERAGAMA menyatakan sikap kami sebagai berikut:

1. Negara dalam hal ini Pemerintah, terutama Presiden harus bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak warga negara untuk beribadah, beragama dan berkeyakinan yang merupakan Hak Asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights), sesuai dengan UUD 1945, UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU. Nomor. 12 Tahun 20005 Tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

2. Negara harus menindak tegas terhadap tindakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok vigilante/ormas radikal terterhadap penganut agama tertentu.

3. Negara harus mencabut peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, yang membelenggu hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan.

4. Negara seharusnya mengurus kepentingan publik, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya, bukan mengurus urusan keagamaan yang merupakan ranah privat (pribadi)

Jakarta, 15 Agustus 2010
FORUM SOLIDARITAS KEBEBASAN BERAGAMA

Gereja HKBP Pondok Timur Indah-Bekasi, HKBP Getsemani Jatimulya-Bekasi, HKBP Filadelfia Tambun-Bekasi, HKBP Rawalumbu, HKBP Suprapto-Jakarta, HKBP Jati Asih , GKI Taman Yasmin-Bogor, Gereja Rakyat, Gekindo Jatimulya-Bekasi, GPDI Elshadday, Jatimulya- Bekasi, GPDI Immanuel-Sukapura, Setara Institute, PBHI Jakarta, Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB), Ut Omnes Unum Sint Institute, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), Jemaah Ahmadyah Indonesia (JAI), Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Persekutuan Gereja-Gere di Indonesia (PGI), Konfrensi WaliGereja Indonesia (KWI), Komunitas Kristen Katolik Indonesia (K3I), Wahid Institute, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK)), Jaringan Islam Liberal (JIL), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Repdem, PMKRI, ICRP, SDI, KGJ, GMM, Hagai, BMDS, GMKI, AMDS, AKKBB, Hikmahbudi, STT Setia, STT Jakarta, KMHDI, TPH HAM, Forum Komunikasi Aktivis 98, Nabaja, Srikandi Demokrasi

Tanggung Jawab Negara Terhadap kita Sebagai Warga Negara Juga Wajib Berikan Rasa Aman Tanpa Perbedaan
Negara wajib melindungi dan memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan, dan suku. Tugas negara itu harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar. “Kelambanan dalam mencegah aksi anarkisme itu bisa dituduh sebagai by omission atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena pembiaran dan tidak mengambil tanggung jawab,” tegas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi, di Jakarta, Jumat (18/2). Masdar mengingatkan negara memiliki segala persyaratan sebagai instrumen untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Pemerintah dibekali dengan aparat kepolisian dan perangkatnya, termasuk lembaga penindakan sampai petugas intelijen. Kalau polisi tidak sanggup memberikan perlindungan, bisa menggunakan aparat lainnya seperti militer atau TNI. “Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi aparat keamanan untuk mengatakan tidak bisa melindungi masyarakat, termasuk yang menyangkut perbedaan keyakinan,” tegas Masdar. Pertumpahan darah karena perbedaan keyakinan harus dihindarkan. Satu nyawa hilang itu sudah terlalu banyak.

Perbedaan keyakinan tidak bisa menjadi alasan untuk memaksa orang lain masuk keyakinan kita. “Tidak ada sedikit pun ruang bagi kita untuk memaksa mereka agar meyakini apa yang kita yakini,” tegas Masdar. Negara kita, kata Masdar, bukan negara agama dan bukan negara agama tertentu, tetapi negara yang melindungi keyakinan segenap warganya. Karena itu, negara tidak boleh mendiskriminasi perlindungan kepada warga negara atas pertimbangan keyakinan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar